Friday, March 02, 2007, posted by TanpaMakna at 12:31 AM
Dari dulu, Saya begitu alergi dengan orang yang berseragam polisi. Entah kenapa, selalu timbul perasaan tak nyaman ketika berada dekat atau melihat mereka. Meski Saya tak melakukan kesalahan apapun. Dan minggu ini, alergi itu makin bertambah. Bagaimana tidak, hanya dalam selang empat hari, dua kali Saya dipalak preman berseragam.

Kejadian pertama, minggu, 25 februari 2007. Waktu itu, Saya habis mengikuti ujian KLPT (Korean Language Proficiency Test) di Unhas. Pikiran saat Saya memacu motor dalam perjalanan pulang, masih kacau balau memikirkan hasil ujian yang sepertinya tak bakalan memuaskan. Hingga saat tiba di pintu dua Unhas, tak kulihat lampu merah menyala, dan tak sempat pula kucermati tanda dilarang belok kiri langsung. Saya pun langsung menjadi mangsa dua orang polisi yang begitu tekun dan telaten menunggu pelanggar di pertigaan Jalan Perintis Kemerdekaan dan Pintu II Unhas. Dengan sigapnya, mereka menghentikan kendaraanku yang telah terlanjur melanggar.

Sempat beberapa menit berdebat, Saya akhirnya menyerah saat salah satu polisi mulai berceramah tentang Undang-Undang lalu lintas, dan pasal berapa yang telah Saya langgar. Argumennya lumayan meyakinkan, ditambah lagi, hari itu Saya lupa membawa STNK. Lengkap sudah. Lalu, sesudah memberi 'kuliah singkat', si polisi memberi tawaran, "Gimana, mau cepat atau mau lambat?". Pembaca pasti mengerti maksudnya. Maka, dengan terpaksa dan tidak ikhlas, meski tetap harus berpura-pura tidak terpaksa dan ikhlas, Saya menyerahkan sejumlah uang atas 'kemurahan' hati pak Polisi yang 'memaklumi' kesalahan yang telah Saya perbuat. "Ini pak, sekedarnya" kata Saya sembari menyetor duit Rp 10.000 selembar dan Rp 5000 sehelai. "Ikhlas, kan?" kata si preman, eh polisi berbasa-basi. "Iya, pak ikhlas" kataku tetap berusaha tersenyum. Saya pun lepas dari jerat tilang hari itu, dengan hati terasa dongkol.

Beberapa hari kemudian, tepatnya kamis 1 Maret 2007 (awal bulan yang bagus), kembali Saya terpaksa berurusan dengan pak Polisi. Kali ini, pelanggaran Saya, katanya karena waktu belok kiri dari arah Jalan Veteran Utara menuju jalan Bawakaraeng, Saya mengambil lajur tengah dan tidak menyalakan lampu sein. "Nggak boleh itu, de'. Membahayakan pengendara di belakangmu, juga membahayakan diri kamu sendiri" Makasih pak, atas perhatiannya :-), mudah-mudahan tulus. "Nah sekarang gimana, kamu mau ditilang?"gertaknya. Terang saja Saya tolak. Kalau ada cara mudah, kenapa mesti pilih yang sulit, pikir Saya. Pragmatis sekali memang isi otakku.

"Nah, kalau gitu mari kita makan bakso aja sama-sama" polisi yang 'ramah' dan 'baik hati', bukan? Kutolak tawarannya, karena Saya memang baru saja makan. "Kalau gitu, kamu bayarin saja bakso yang Saya pesan".OOO, ternyata 'perhatiannya' dan 'keramahannya' pak Polisi mengandung umpan. Terpaksa lagi mengeluarkan duit untuk 'mentraktir' pak Polisi yang kayaknya lagi kelaparan itu. Kasihan ya, apa mereka tidak diberi uang makan oleh negara hingga mesti mencari-cari dari kesalahan para pengguna jalan. Kalau hari itu tak ada yang melanggar, bisa tidak makan mereka, hehehehe. Ah, andai Saya masih wartawan, dua kejadian di atas ceritanya mungkin lain.

Pesan moral posting ini : Usahakan perhatikan benar rambu-rambu lalu lintas, dan pastikan anda menaati semua peraturan dan menjauhi semua pelanggaran selama mengemudi. Kalau masih ditilang juga, kaciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiaaaaaaaaaaaaaan deeeeeeeeeh loe. Hehehe, polisi emang gitu kok dari dulu, jangan terlalu diambil hati. Anggap aja sedekah, anak jalanan kan sekarang sudah habis di razia, jadi budget untuk ngasih mereka alihkan saja ke bapak-bapak kita yang telah dengan sabar dan setia menanti kita melanggar.

Labels: