Wednesday, January 17, 2007, posted by TanpaMakna at 9:46 PM


Bapak menjual vespanya hari ini. Teman sekantornya sendiri yang membeli motor keluaran tahun 1989 itu. Tadi siang, vespa yang aslinya berwarna biru namun beberapa tahun lalu malih rupa menjadi merah itu resmi berpidah tangan. Alasan mubazir karena kendaraan itu sudah jarang dipergunakan sejak Bapak lebih sering memakai mobil, aku memilih mengendarai Mega-Pro, adikku memiliki Honda Supra, menjadi pertimbangan bapak melegonya.

Ada rasa kehilangan sebetulnya, bahkan aku sempat melontarkan penolakan ketika beberapa hari lalu pembeli motor itu ke rumah melihat kondisi vespa. Demikian pula ibuku sempat menyatakan ketidaksetujuannya. Kali ini kami berdua kompak dan alasan kami intinya sama "vespa itu bagian dari sejarah keluarga". Namun, alasan ekonomi juga yang berkuasa. "Pajaknya beberapa bulan lagi jatuh tempo" urai Bapak, membuatku terdiam. Bagaimanapun inginnya aku mempertahankan kendaraan itu, aku masih punya banyak keperluan untuk dibiayai ketimbang membayar pajak kendaraan.

Vespa tersebut memang menyimpan banyak cerita. Bagiku, pun bagi Ibu. Buat Ibu, vespa adalah tanda bukti perjuangannya sebagai "single parents" saat Bapakku sibuk berjuang menyelesaikan studi S2-nya di Jakarta. "Mama harus turun naik damri (bis kota) tiap bulan untuk pergi membayar angsurannya itu motor" kenang ibu. Waktu itu memang pete-pete (angkot) belum seramai sekarang. Hingga ketika beberapa tahun silam waktu aku belum punya motor sendiri dan aku meminta ibu menjual vespa itu lalu membelikanku kendaraan yang lebih bergaya "anak muda", ibu lantang menolak. Dia memilih memberiku satu kendaraan baru tanpa perlu menjual yang lama.

Sementara kenangan Vespa itu bagiku juga cukup banyak. Ada yang manis, meski kadangpula pahit. Kendaraan buatan Italia itu jadi teman setiaku sejak aku duduk di kelas dua SMU, tahun 1998. Menemaniku ke sekolah sesekali (aku malu membawanya tiap hari, kerap dijadikan bahan lelucon kawanku), mengantarkanku bimbingan di JILC, membawaku ke rumah teman, serta mengajakku rekreasi hampir setiap minggu. Benar-benar kawan sejati. Bersamanya pula aku berkenalan dengan Polantas (Polisi Lalu Lintas) saat aku ditilang untuk pertamakali. Seingatku, ada sekitar empat kali aku dijegal Polisi ketika 'berdua' dengannya. Dua kuselesaikan lewat jalur resmi, satu pungli, dan satu lolos berkat jurnalis power.

Kendaraan yang sama pula yang kukendarai saat berkuliah di Unhas, dan di IAIN (kini UIN). Sempat setahun "kuberselingkuh" dengan Suzuki RGR, tapi akhirnya kembali juga aku kepangkuan Vespa. Meski dengan reziko, banyak teman di Fakultas Ekonomi Unhas yang notabene berasal dari kalangan "the have" kerap meremehkan. Bikin minder juga sesekali, dan mungkin pula gara-gara itu aku tak berani mendekati wanita :p (alasan goblok). Meski sebenarnya lewat vespaku pula aku lumayan dikenal, maklum mahasiswa yang bawa kendaraan sejenis ke kampus kayaknya cuma aku saat itu.
(bersambung)

Labels: